Mengapa,
setiap kali bencana kebakaran hutan, selalu yang disalahkan petani peladang
tradisional. Sudah bertahun-tahun mereka berladang dengan sistim slash and burn,
menurut istilah yang sering mengemuka. Namun mereka dengan saksama memperhitungkan segala sesuatunya agar pembakaran ladang tidak merugikan orang lain. Kapan angin
tidak berembus kuat, bergotongroyong membersihkan batas dengan ladang tetangga untuk memastikan api tidak merambat kemana-mana.
Ada
kearifan lokal yang mereka pegang teguh, yaitu aturan adat, mereka akan memberikan sangsi adat yang berat, bila
pembakaran ladang mengakibatkan kebun tetangga sampai terbakar. Mereka akan menahan
diri untuk tidak segera membakar kalau mereka tidak yakin dalam waktu dekat
akan ada sedikit hujan. Mereka juga melakukan ritual adat untuk meminta ijin kepada para roh leluhur sebelum melakukan pembakaran lahan. Di beberapa komunitas dayak malah ada musik dari bambu yang mengiringi kegiatan pembakaran.
Pemilik
lahan yang sudah siap membakar akan sabar menanti kesiapan tetangganya, bila
dan kapan mereka ada waktu untuk bersama-sama menjaga agar api jangan sampai
merayap ke kebun tetangga.
Perlu
waktu untuk membuat batas dengan membersihkan batas sampai tidak mungkin api
menyeberang. Pada waktu pembakaran mereka telah menyiapkan perlengkapan jerigen/ken yang berisi air, atau pompa bila memungkinkan. Semuanya mereka lalukan agar
dapat memotong atau mencegah api tidak merayap kemana-mana.
Caritas
Keuskupan Ketapang, mencoba mengikuti sebuah kegiatan bagaimana petani
tradisional mempersiapkan pembakaran ladang mereka. Mari kita saksikan video di bawah ini. (samsi+budin)