Suasana rapat koordinasi multi pihak bersama Uskup Ketapang |
Banjir yang merendam 17 Desa di Kecamatan Jelai Hulu dan 5 Desa di Kecamatan
Manis Mata membawa berkah bagi kita, di antaranya
kita menjadi semakin bersaudara, kita semakin
dibukakan mata terhadap situasi dan lingkungan
bahwa kita memerlukan
kesadaran baru, kita belajar berkomunikasi-berkoordinasi dan mengenali yang kita
beri informasi. Kita diajak untuk mengingat kembali bahwa kita punya kekuatan seperti
berdoa bersama, melakukan acara adat dan lain-lain. Demikian disampaikan oleh Mgr
Pius Priana Prapdi, Uskup Ketapang dalam pertemuan koordinasi dengan berbagai stakeholders
di sekretariat POSKO Kemanusiaan Paroki Santa Maria Assumpta Tanjung, Kantor Desa
Tanggerang, Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang, 11 September 2017.
Sebagaimana diketahui, Posko Kemanusiaan Paroki Santa Maria Assumpta Tanjung
yang memiliki Semboyan Bela Rasa 1 Rasa 1 Jiwa yang telah menarik perhatian dari
berbagai pihak ini merupakan Posko yang pada awalnya digagasi oleh beberapa aktifis
Paroki, Pemerintah desa Tanggerang dan desa Teluk Runjai, untuk menanggapi peristiwa
banjir yang merendam setidaknya 1.712 rumah di 22 Desa Kecamatan Jelai Hulu dan
Manis Mata, yang juga telah mengakibatkan putusnya jembatan Lamboi dan jembatan
Tanjung, 7 rumah di Tanjung hilang, 4 rumah di Tanjung tumbang, 3 rumah di Tanjung
rusak berat, 13 rumah di Tanjung rusak ringan.
POSKO ini dijalankan secara terorganisir dengan struktur relawan yang jelas
apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya masing-masing, sehingga kepedulian
para pihak terhadap kejadian ini dapat disalurkan secara tepat sasaran. Selain itu
posko ini juga bekerja bukan hanya dalam kondisi tanggap darurat saja, tetapi sampai
pada upaya-upaya rekonstruksi dan recovery.
Selain menyalurkan bantuan, tim
dibantu oleh Yayasan Caritas Keuskupan Ketapang dan Karina (Karitas Indonesia) bekerjasama
dengan tim dari Credit Union Gemala Kemisiq, menghimpun berbagai informasi untuk
mengetahui menjadi penyebab maupun potensi atau kekuatan yang masih dimiliki oleh
masyarakat, seperti bagaimana para korban bersikap dan bertindak pasca bencana,
belajar dari kejadian ini, sarana dan prasarana yang dapat dimanfaatkan untuk kondisi
darurat, sumber daya manusia yang dapat diajak bekerjasama dan lain-lain. Dengan
demikian akan mempermudah upaya mengajak masyarakat bangkit dan melakukan apa yang
sebaiknya dilakukan ke depannya.
Sehingga setelah habis masa tanggap darurat berdasarkan NOTA PASTORAL Keuskupan
Ketapang yang berakhir 12 September 2017, namun relawan akan terus melanjutkan upayaupaya
untuk terselenggaranya rekonstruksi dan recovery.
Dengan rencana ini maka komitmen dan kerjasama berbagai pihak sangat diharapkan,
tanpa memandang siapapun kita. Kejadian ini cukup memberikan pelajaran berharga
untuk melakukan perubahan, memperbaiki sikap dan cara hidup. Saatnya kita bekerjasama
bukan saja hanya dengan manusia tetapi dengan semua makhluk di bumi. Kita harus
bekerjasama dengan alam. Bukan mengambil hasilnya saja, tapi kita juga mau menjaga,
memelihara dan merawat alam yang menjadi sumber kehidupan. Sebelum mengakhiri pertemuan
koordinasi, Uskup menegaskan bahwa Keuskupan Ketapang berkomitmen bahwa Keuskupan
Ketapang ingin masyarakat bukan hanya sekedar kembali ke kondisi normal, tapi meningkat.
Uskup juga mengingatkan bahwa ‘naga’ yang disebutsebut sebagai penyebab terjadinya
banjir itu merupakan simbol penguasa (kuasa punya aturan, kuasa menentukan apa yang
mau dilakukan dan kuasa punya uang). Oleh sebab itu menurut Uskup Ketapang, kita
harus menyuarakan apa yang menjadi hak hidup kita agar kita semakin bersaudara dengan
semua - bukan hanya dengan manusia tetapi
dengan semua makhluk yang ada di alam.
Sekarang saatnya kita "BERUBAH" (sarvianus mimi)